Duduk Dengan Arti

Kita pernah mengagumi hal yang sama, yang menurut orang lain, itu biasa. Kita selalu melihat ke arah yang sama, saat duduk bersebelahan. Kamu memandang beda tentang cinta yang datang, bagimu seperti fatamorgana, didepan, seakan kamu tau, akan seperti apa titik ujungnya. Aku berbeda, keluar dari bahasan, aku lebih suka mengagumi, tanpa diketahui, bagiku itu indah, mungkin juga tidak terbatas.

Lagi kita bersebelahan, Lalu lalang jenis kepala kita lihat. Kamu berdiri, seraya memanggil seorang Ice Cream Man yang hendak pergi menjauh. Tapi dia mendekat.

"2!"

"Ini dek, makasih" Dia pergi, kepala yang kamu panggil.

Aku yang senyum, mengiringi Ice Cream Man yang sekarang yakin ingin menjauh.

"Nih"

"Tumben baik" Kataku tertawa.

"haha"

Kamu bilang.

"Jika Bumi seperti Es Krim, dapat meleh, kamu mau gimana ?"

"Aku ? Aku cari tempat teduh lainnya. [1] Pluto mungkin."

 "Jauh, ya"

"Iya, jauh. Apalagi sekarang, dia bukan lagi bagian dari tata surya kita"

"Kenapa mau pindah kesana ?"

"Kan kamu yang nanya, ih!"

"Eh, iya lupa. Hehe. Aku ubah pertanyaan ku deh, jika bumi tidak meleleh, apa kamu masih mau pindah ke Pluto ?"

"Iya"

"Kenapa ?" Kamu penasaran.

"Disini udah gak asik, disana sepi, sku juga suka sendiri, tanpa harus ada yang ku kagumi"

"Oh"

"Hehe, cepet makan nya, Es kamu mulai cair tuh!"

Selalu seperti itu, waktu begitu cepat, berlalu, tanpa memberi tahu.


Lagi, kita bersebelahan, tak terhitung sejak saat itu.

"Kamu pernah lihat bintang jatuh ?" Tanya mu penasaran.

"Pernah"

"Wah, pasti indah !"

"Iya"

"Sampai sekarang, aku belum pernah lihat itu, padahal aku mau"

"Berati kamu harus lihat!" Timpal ku sekenanya.

"Kadang, percakapan yang tidak penting, akan menjadi ingatan yang penting" Pluto,(2006).

Hari berlalu, sekarang malam, dan ini waktu untuk kamu, sisa lintasan komet Jacques dilalui Bumi. Bertukar pesan sudah biasa juga. Aku kirim pesan.

"Kamu masih punya mau untuk lihat bintang jatuh ?" Tanya ku.

"Mau"

"Sekarang waktunya kamu. Malam ini ada, tapi selepas tengah malam"

"Bagaimana aku bisa lihat itu ?"

"Semua orang bisa, kecuali yang udah mati."

"Ih !"

"Haha, kamu bisa, kamu gak perlu peralatan macem-macem juga, cukup dengan mata telanjang, dan terus pandang arah [2] zenith"

"Kamu mau lihat juga ?"

"Enggak, aku mau tidur !"

"Huu"

 

 Entah bagaimana, semesta enggan membuat kita menjadi kita yang utuh saat ini

"Aku semalam lihat. Indah, aku seneng !"

"Banyak ?"

"Cuma beberapa"

"Baguslah, akhirnya malam itu bahagia kamu"

"Iya"

"Buat permintaan ?"

"Iya, hehe"

"Ih kamu, itu dosa! eh, apa permintaan kamu. Hehe ?"

"Rahasia !"

Mungkin beberapa bintang terang malam itu, dan ada juga yang berjatuhan dengan kata lain, tapi, kadang bintang juga dapat lelah, kemudian meredup, tak kuat menahan semua zat-zat yang menyelimutinya, kemudian terjadi ledakan, dan dia bukan lagi menjadi bintang seterang yang terlihat oleh mu semalam.

Aku tidak tahu isi permintaan mu kala itu, yang jelas, kata "mengagumi" yang aku maksud adalah kamu, dan Pluto yang aku pilih, hendaknya dapat melupakan rasa yang aku dapat ketika kita bersebelahan, biar pinta mu kala itu jadi rahasia, dan kagum yang ku punya untuk rahasia ku.

[1] Bukan lagi sebagai planet yang mengorbit Matahari sejak 2006 silam.
[2] Titik lurus menghadap langit saat sedang menatap.